Jakarta – Ada yang menarik dari ekosistem bernegara di Indonesia. Dalam ekosistem bernegara ada unsur berdirinya bernegara, ada tujuan bernegara, ada cabang kekuasaan yang menyelenggarakan fungsi negara di bidang eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Kemudian ada kekuatan birokrasi yang di dalamnya mengeksekusi program-program negara. Ada juga cabang kekuasaan lain yang mandiri dan independen berdasarkan konstitusi seperti cabang kekuasaan pengawasan keuangan, cabang penyelenggara pemilu, dan cabang kekuasaan moneter.
Menurut Prof. Dr. Zudan Arif Fakrulloh, SH, MH, yang juga dikenal sebagai Pakar Administrasi Negara dan Sosiologi Hukum, setidaknya masing-masing ekositem itu harus bisa bekerja dengan baik, apabila bangsa ini ingin mewujudkan tujuan negara secara cepat dan optimal.
“Nah, di dalam bekerja apakah cabang-cabang kekuasaan ini memiliki arah politik hukum yang sama, atau memiliki pemahaman yang sama dengan arah politik hukum yang dijalankan cabang kekuasaan yang lain. Sepanjang arah politik hukum ini tidak sama, maka akan ada berbagai problematika di dalam tata kelola birokrasi pengelola pemerintahan,” kata Prof. Zudan Arif menyampaikan pada Seminar Tri Dasawarsa Peradilan Tata Usaha Negara yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung RI secara daring, Rabu (7/4/2021).
Ketua Umum Korpri ini juga menyoroti bagaimana tata kelola pemerintahan dijalankan dengan peran birokrasi yang memegang peran sangat penting dalam penyelenggaraan negara.
“Pada pundak ASN yang berjumlah 4,3 juta harus diakui tersimpan kekuatan besar untuk mengeksekusi program negara. Ribuan triliun anggaran negara ada di tangan para ASN untuk dieksekusi demi mewujudkan tujuan negara,” kata Prof. Zudan Arif Fakrulloh.
Dalam makalah bertajuk “Perkembangan Politik Hukum atas Kontrol Yudisial Terhadap Penyalahgunaan Wewenang Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan”, lebih jauh Zudan mengungkapkan alasan di balik itu terjadinya kelambanan dalam birokrasi untuk mengeksekusi program pemerintah mewujudkan tujuan negara.
“Mengapa ada kelambatan, keragu-raguan, kenapa ada perasaan takut? Kalau kita buka berbagai khasanah ternyata Indonesia adalah rimba belantara regulasi. Seluruh birokrasi memahami betul kondisi hyper regulasi ini. Terlalu banyak regulasi di Indonesia yang mengatur satu subjek dengan pendekatan yang berbeda-beda sehingga sering kali dikatakan aturannya tumpang tindih,” tukas Zudan.
Sehingga dalam praktek terjadi banyak permasalahan hukum, padahal para ASN itu sedang mengerjakan sesuai dengan sub sistem hukum yang berlaku di sektor itu, tetapi bisa salah di sektor yang lain. Di sinilah yang menyebabkan kelambatan tadi, karena ada kelambanan, keraguan karena para ASN takut mendapatkan masalah hukum. (gas).