Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan bahwa kunci utama dalam perjalanan pemberantasan korupsi di daerah berada di tangan Pemerintah Daerah (Pemda) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pasalnya, Pemda dan DPRD merupakan aktor yang berperan dalam proses pengambil kebijakan di daerah.
Hal ini disampaikan dalam kegiatan Rapat Koordinasi Pemberantasan Korupsi Wilayah I yang diinisiasi oleh Direktorat Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Wilayah I KPK, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (28/4/2025).
Wakil Ketua KPK Johanis Tanak dalam sambutannya menegaskan bahwa persoalan korupsi di Indonesia bukanlah hal baru. “Sejak masa awal kemerdekaan, Bung Karno sudah menyoroti maraknya korupsi di tubuh pemerintah dan dunia usaha. Bahkan, beliau sampai menetapkan negara dalam keadaan darurat pada 1957 karena situasi tersebut,” ujarnya saat membuka rangkaian kegiatan Rakor di hadapan delapan perwakilan pemerintah daerah.
Delapan daerah yaitu Provinsi Sumatera Utara, Kota Pematang Siantar, Kabupaten Asahan, Kota Tebing Tinggi, Kota Tanjungbalai, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Deli Serdang, dan Kabupaten Serdang Bedagai.
Tanak menekankan, pemberantasan korupsi bukan sekadar soal regulasi atau besar kecilnya gaji pejabat, melainkan tentang integritas hati dan pikiran. “Gaji besar atau kecil tidak menjadi jaminan. Kalau hati dan pikiran tetap rakus, korupsi akan tetap terjadi,” lanjutnya.
Johanis Tanak mengingatkan bahwa korupsi sejatinya adalah bentuk pengkhianatan terhadap rakyat, karena uang negara berasal dari pajak yang dikumpulkan dari masyarakat.
“Saya berpesan, laksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab. Ingatlah, uang yang didapatkan dari korupsi adalah uang haram. Jangan sekali-kali membanggakan uang itu kepada keluarga,” tegas Tanak.
Lebih jauh, ia mengajak semua pihak untuk memahami bahwa membangun negeri tanpa korupsi hanya memerlukan dua hal: tidak menyalahgunakan kewenangan dan menjaga hati tetap bersih.
“Bicara korupsi itu sederhana: jangan manfaatkan jabatan untuk keuntungan pribadi, jaga intergitas, dan moralitas. Dan peran Pemda dan DPRD yang bersih serta jujur juga menjadi penting dalam hal ini,” tambahnya.
Direktur Koordinasi dan Supervisi Wilayah I KPK, Agung Yudha Wibowo, menuturkan Pemda dan DPRD adalah dua aktor kunci yang menentukan hitam-putih tata kelola daerah, apakah bebas dari korupsi atau justru terjerumus dalam praktik koruptif.
“Korupsi di daerah sering berulang dengan pola yang hampir sama. Kalau ada yang belum terungkap, itu mungkin hanya soal waktu,” jelasnya.
Sehingga, KPK akan terus berperan aktif dalam upaya pencegahan korupsi serta mendukung berbagai langkah strategis di daerah untuk memperkuat komitmen pemberantasan korupsi. Namun demikian, Agung mengingatkan bahwa KPK tidak bisa bekerja sendiri. Diperlukan kolaborasi erat antara KPK, eksekutif, dan legislatif, agar upaya pemberantasan korupsi berjalan efektif.
“Kami tidak hanya sebatas melakukan sosialisasi, tetapi juga membuka ruang dialog untuk membahas persoalan nyata yang terjadi di daerah,” ujar Agung.
Berdasarkan Indeks Pencegahan Korupsi Daerah (IPKD) dalam Monitoring Controlling Surveillance for Prevention (MCSP) KPK tahun 2024, Provinsi Sumatera Utara mencatatkan skor rata-rata sebesar 75,02. Namun, pada area perencanaan, skor yang diperoleh masih tergolong rendah, yakni 63. Sementara itu, tujuh area lainnya—penganggaran, pengadaan barang dan jasa, pelayanan publik, pengawasan APIP, manajemen ASN, pengelolaan BMD, dan optimalisasi pajak—berhasil mencatatkan skor di atas 80.
Namun, berdasarkan data Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) KPK terkait penanganan tindak pidana korupsi oleh aparat penegak hukum (APH) di Sumatera Utara, tercatat sebanyak 170 perkara yang ditangani sepanjang 2023 hingga Desember 2024.
Dari jumlah tersebut diketahui terdapat beberapa modus yang dilakukan, seperti 44% terkait penyalahgunaan anggaran, 42% terkait pengadaan barang dan jasa, 7% terkait sektor perbankan, 3% terkait pemerasan atau pungutan liar (pungli), dan sisanya 4 persen mencakup modus lainnya.
Di sisi lain, Agung juga memaparkan potensi-potensi rawan korupsi dalam tata kelola pemerintahan daerah, mulai dari perencanaan anggaran yang tidak akuntabel, pengadaan barang dan jasa yang sarat kecurangan, lemahnya pengawasan, hingga praktik jual beli jabatan dan pelayanan publik yang berbelit.
Untuk itu, melalui kegiatan ini, KPK mendorong Pemda dan DPRD untuk bersama-sama menginventarisasi potensi korupsi pada setiap area tata kelola serta menutup celah korupsi agar tidak ada lagi kebocoran.
“Sebagai aktor utama di daerah, Pemda dan DPRD harus mengambil peran besar dalam memastikan pelayanan publik semakin baik, perekonomian daerah meningkat, serta demokrasi lokal tumbuh sehat,” pungkas Agung.
KPK memastikan bahwa kehadirannya di daerah bukan untuk menghakimi, melainkan untuk membantu daerah menemukan jalan terbaik membangun pemerintahan yang bersih, berintegritas, dan berpihak pada kesejahteraan rakyat.
“Untuk itu, Pemda-DPRD harus melibatkan dan memanfaatkan KPK untuk mendukung kemajuan dan kesejahteraan daerah,” ucapnya.
Selanjutnya, KPK juga mengundang perwakilan pemerintahan daerah Aceh, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, dan Bengkulu, secara bergantian.
Sementara, pada Selasa (29/4) esok, KPK mengundang 8 pemerintahan daerah Aceh, meliputi Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Nagan Raya, Kota Langsa, Kota Pidie, Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Lhoksumawe, dan Kabupaten Aceh Besar. (tugas).